Shinto Negara

Uang kertas 50 sen Kekaisaran Jepang dengan Kuil Yasukuni

Shintō negara (国家神道 atau 國家神道, Kokka Shintō) mendeskripsikan penerapan ideologi Shinto sebagai tradisi rakyat asli dalam kehidupan bernegara Kekaisaran Jepang.[1]:547 Negara sangat mendorong praktik-praktik Shinto untuk menjadikan Kaisar sebagai sosok ilahi,[2]:8 yang memegang kontrol keuangan kuil dan rezim terlatih untuk para pendeta.[3][4]:59[5]:120

Ideologi Shinto negara timbul pada permulaan era Meiji, setelah para pejabat pemerintah menolak kebebasan beragama dalam Konstitusi Meiji.[6]:115 Para cendekiawan kekaisaran meyakini bahwa Shinto merefleksikan fakta sejarah dari asal usul keilahian Kaisar ketimbang keyakinan agama, dan berpendapat bahwa ini harus meraih hubungan yang diutamakan dengan negara Jepang.[2]:8[4]:59 Pemerintah berpendapat bahwa Shinto adalah sebuah tradisi moral non-relijius dan praktik patriotik.[4]:59[5]:120 Meskipun upaya-upaya era Meiji awal untuk menyatukan Shinto dan negara mengalami kegagalan,[6]:51 konsep non-relijius dari ideologi Shinto dimasukkan ke dalam birokrasi negara.[7]:547[8] Kuil-kuil didefinisikan sebagai patriotik, bukan agama, institusi yang memegang keperluan negara seperti menghormati korban tewas pada masa perang.[6]:91

Negara tersebut juga mengintegrasikan kuil-kuil lokal ke dalam fungsi politik, terkadang menimbulkan penentangan dan penarikan lokal.[5]:120 Dengan sedikit kuil yang didanai oleh negara, nyaris 80.000 kuil ditutup atau digabung dengan wilayah tetangga.[6]:98[7]:118 Beberapa kuil dan organisasi kuil mulai secara sendiri-sendiri mendorong pengarahan negara, tanpa pendanaan.[7]:114 Pada 1940, para pendeta Shinto mengalami penganiayaan karena menampilkan upacara keagamaan Shinto tradisional.[6]:25[9]:699 Kekaisaran Jepang tak menggambarkan perbedaan antara ideologi Shinto dan Shinto tradisional.[7]:100

Para pemimpin militer AS memperkenalkan istilah "Shinto negara" untuk membedakan ideologi negara tersebut dari praktik-praktik Shinto tradisional[2]:38 dalam Pengarahan Shinto tahun 1945.[2]:38 Dekrit tersebut menganggap Shinto sebagai agama, dan melarang pemakaian ideologi lebih lanjut dari Shinto oleh negara.[9]:703 Kontroversi masih terjadi mengenai pemakaian simbol-simbol Shinto dalam fungsi-fungsi negara.[3]:428[9]:706[10]

  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Fridell
  2. ^ a b c d Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Earhart
  3. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Shibata
  4. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Zhong
  5. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Keene
  6. ^ a b c d e Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Hardacre
  7. ^ a b c d Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :0
  8. ^ Sakamoto, Koremaru (1993). Kokka Shinto taisei no seiritsu to tenkai. Tokyo: Kobunda. hlm. 165–202. 
  9. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Beckford
  10. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Loo

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search